Minggu, 01 April 2012

Kenapa Menulis Itu Penting? Nya Teuiiingg Ateeuhh....

Kenapa menulis itu penting? Saya juga tidak tahu. Saya memang membiasakan menulis setiap bulan secara teratur. Tapi, tujuan dari menulis itu sendiri benar-benar gelap, atau bahkan cenderung absurd. Saya tidak tahu menulis untuk kepentingan apa, bagi siapa, dan kenapa. Saya cuma ingin berbagi, atau setidaknya jujur terhadap diri saya sendiri, tentang apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan.

Lalu, apakah itu berarti menulis adalah pekerjaan sia-sia? Bisa jadi. Memang benar, menulis nggak bakal dapet duit. Beda dengan jadi volunteer di sebuah gigs, misalnya, atau dengan jadi freelance di sebuah korporat. Uang berdatangan dengan mudah di tempat seperti itu. Tapi, apa yang didapat dari menulis? Hampir tidak ada. Kecuali rentetan kata-kata. Kecuali deretan makna-makna – yang mungkin tidak semua orang paham benar, atau bisa jadi bias.

Bukan bermaksud pesimis. Tapi memang begitulah faktanya. Berapa banyak penulis di Indonesia yang dihormati? Mungkin ada satu-dua nama, tapi kalau dibandingkan dengan profesi lain, seperti direktur, manager, dokter, penyanyi, sutradara, akuntan, pengusaha, atau pemain sinetron (cih!), sepertinya profesi penulis tidak keren. Bayangkan kamu bakal melamar perempuan, lalu ditanya oleh ayahnya, “Kamu pekerjaannya apa?” Kamu jawab, “Penulis, Pak!” Kemungkinan si ayah tidak akan terkesan. Beda kalau misalnya kamu jawab, “Direktur Pertamina, Pak!” Kemungkinan si ayah langsung buru-buru manggil penghulu.

Itu cuma salah satu perumpamaan, bagaimana menulis masih dianggap “asing” oleh sebagian besar masyarakat. Padahal, masyarakat Endonesia (sengaja saya menuliskannya begitu, karena memang kebanyakan lidah kita mengucapkannya gitu kok!) sudah banyak yang meningkat pendapatannya, tapi tidak dibarengi dengan kualitas budaya baca-tulis. Kalau boleh menyitir kata-kata Seno Gumira Adjidarma pada penghargaan South East Asia (SEA) Award 1997:

Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Negara kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.”

Begitulah, memang murung kedengarannya. Menulis yang erat kaitannya dengan membaca hanya pekerjaan sia-sia – kecuali kalau kamu wartawan media cetak yang kerjaan sehari-harinya menulis, dan digaji. Bagi orang biasa-biasa saja seperti kita, menulis cuma sekedar penghias hari-hari. Kurang lebih fungsinya sama dengan aksesoris fashion. Dipakai boleh, tidak dipakai juga tidak apa-apa.

Kembali ke pertanyaan awal: lalu, apakah itu berarti menulis adalah pekerjaan sia-sia? Kalau berorientasi profit alias duit, mungkin iya. Menulis adalah pekerjaan sia-sia. Uang yang didapat tidak seberapa kalau dibandingkan dengan pekerjaan lain. Buang jauh-jauh catatan, buku, pulpen, kertas, laptop, atau hal-hal yang membuat kamu ingin menulis. Kalau perlu masukkan ke dalam gudang. Biarkan barang-barang itu berdebu di sana.

Tapi, pertanyaan bisa dilanjutkan lebih jauh, “Lalu kenapa masih banyak orang yang suka menulis, bahkan kalau tidak mendapat apa-apa?” Itu yang menarik. Mungkin orang-orang seperti itu tidak mengejar profit alias duit. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar lembaran kertas berisikan angka-angka itu. Apa?

Entah. Tapi mungkin jawabannya adalah kebahagiaan, kepuasan, semangat, kejujuran, dan pemahaman plus penghayatan tentang kehidupan itu sendiri. Dengan menulis kita sadar: ternyata selama ini kita adalah manusia seutuhnya, yang pernah merasakan sakit, luka, duka, suka, bahagia, lara, getir, senang, cinta, dan lain-lain. Menulis memang tidak akan membuat orang jadi Paman Gober, tapi tanpanya, orang akan kehilangan sesuatu dari yang dijalaninya: Kehidupan yang berarti.

n.b: Di samping hal-hal “megah” seperti itu, menulis juga bisa berarti mencatat kenangan, yang mungkin tidak akan terbaca dalam sejarah negara, tapi akan terbaca oleh anak-cucu di kemudian hari.

Lucu kan kalau ada anak yang dibacakan dongeng sebelum tidur tentang kisah ayah/ibunya sendiri? :)

*Iman Purnama, Jurnal 08

Ditulis dalam keadaan setengah sadar :)))))