Kamis, 15 September 2011

Ada Pagi yang Biasa dan yang Tak

Ada pagi yang biasa dan yang tak

Itu adalah saat kita memandang

Daun-daun yang berserak

Pada diam yang jatuh di setiap antara.

Bahagia

Perlukah kebahagiaan diberi nama?

Seperti bintik pada sayap kupu-kupu yang kita rawat

Hitung satu per satu. Teliti meniti tak lekas cergas

Namun kita memang tak pernah bisa puas

Barangkali musim semi telah tiba, mungkin juga tidak

"Karena perasaan tidak mengenal musim," kataku

"Dan yang ada hanyalah hari ini, pagi ini," katamu

Lihat jarum jam yang tertawa melihat esok; separuh ilusi putaran waktu, indah nyeri tak terperi gerakan maju.

Ada pagi yang biasa dan yang tak

Dan itu adalah pagi ini

Ketika segala bayang warna warni semu

Berubah menjadi wujud dirimu

Genggam lagi pagi. Jangan berlari.

Iman Purnama - Jurnal 08

Kamis, 08 September 2011

R.A.W. (Rutinitas, Aku, Waktu)

Rutinitas membutuhkan waktu

Dan tentu saja melibatkan tokoh, alur dan setting

.

Perkenalkanlah aku

Aku adalah tokoh utama rutinitasku

Dan mungkin aku adalah tokoh pelengkap rutinitasmu

.

Aku, tokoh utama rutinitasku?

Lalu, mengapa aku masih terjebak di dalamnya?

Bukankah ini rutinitasku?

Milikku, kuasaku?

.

Oh, tidak

Memang ini rutinitasku

Memang ini perjalananku

Semua itu dalam kuasaku

Tapi rutinitasku adalah bagian rutinitasmu

.

Dan, waktu ini adalah rahmat-Nya

Rahmat Sang Penguasa Waktu

dan tentu saja Ia juga Penguasaku

.

Oh, begitu

Ternyata aku bukan penguasa waktu

Ternyata aku bukan penguasa rutinitasku

.

Karena rutinitasku membutuhkan waktu

Karena rutinitasku juga bagian dari rutinitasmu

Karena kita membutuhkan Sang Penguasa Waktu

.

Lindur - Jurnal 07

(tanpa judul)

Sungguh terik tak berperasaan, memanggang makhluk daratan sampai gersang. Semilir angin membawa setumpuk debu dari berbagai arah, siap menerjang aku yang telah tumbang. Namun, kelelahanku sirna ketika angin berhembus sepoi dengan kesunyian terik matahari itu, seolah mengganti waktu menjadi senja.

Menyibak rindang pohon di seberang mata. Tapi apakah mata ini akan tetap sama memandang pohon itu secara tenang, jika ternyata angin tak pernah datang?

Ana – Jurnal 09

Simbol

Aku tak melihat sphinx disini, tapi bangunan piramida tak sempurna itu ada dimana-mana.

Ia melekat dalam pikiran pria tak bercincin. Hinggap membodohi mereka.

Mereka sibuk berkonspirasi. Menelusur ayat-ayat Tuhan, membongkar setiap kitab.

Aku kaget, mata mereka berubah liar melihat diriku. Menunjukku sebagai wakil setan.

Mereka takut, aku menguasai dunia. Mereka membela, akulah teror sesungguhnya.

Mereka menelanjangiku dengan firman, meski firman mereka, aku yang buat.

Mereka mencerca setiap bintang jatuh tak sempurna.

Hey, bukankah itu hanya sebuah simbol?

Tanpa sadar, simbolku telah mereka pergunakan, sebagai tempat ibadah, sebagai simbol negara, sebagai simbol majunya pendidikan.

Apa yang mereka perjuangkan? Tuhan?

Mereka padahal jarang berkunjung ke rumah Tuhan.

Lagipula, Tuhan takkan sudi untuk dibela.

Aku hanya simbol, simbol akan ketakutan.

Vady Prasetya – Jurnal 09

Hilang

Ada yang menolak lupa

dengan mengucap segala kata

Tapi aku ingin memberi ingatan

dengan tatapan mata.

Seperti menara

Seperti cahaya

di ujung pantai, di langit yang tak ada tepi

Sepi semua bermula

.

Setelah semuanya hilang

tetap ada yang terbilang:

Bisu

yang Kekal

Iman Purnama – Jurnal 08

Hari Ini

...adalah lembaran baru bagiku. Begitu sih yang dikatakan Joy Tobing. Lupa saya judul lagunya apa. Tapi dari tadi, saya nembang-nembangin lagu itu terus. Sewaktu mandi dan odol habis. Terus waktu nyukur alis biar jadinya agak-agak tampan bagaimana yah?

Selepas mandi ada si Mamah. Masak sayur lodeh. Padahal pengennya saya mah si Mamah masak karedok leunca. Terus di dapur juga ada si Teteh sedang cuci-cuci piring sembari mendengarkan suara payah si David Archuletta. Terus saya timpalin pakai lagu “Ekspresi”, yang dinyanyiin juga sama para kontestan Indonesian Idol. Diteriakin-teriakin saja tuh ini suara saya dengan tujuan si Teteh kesel. Udahan begitu saja nyuci piringya si Teteh sambil muncrat-muncratin air ke muka saya. Haha, pundung si Teteh lah!

Si Mamah, seperti biasa cuek-cuek saja melihat adegan “kemesraan” diantara kami berdua. Sewaktu saya duduk di kursi meja makan, Mamah menaruh si sayur lodeh dan pada akhirnya bertitah, “Si Mang Endu nggak jualan leunca euy. Padahal Mamah pengen bikin karedok leunca.” Gila! Ini emak sejatinya saya sangat lah. Sehati gitu sama kehendaknya saya! Pemikiran akan romantisme hubungan Bunda-Ananda ini, sumpah, nyogok si saya supaya makan sayur lodehnya si Mamah!

Selesai menghabisi mampus sang sayur lodeh naudzubillah tadi, si Mamah melihat, menatap saya. Tatapannya kali ini agak serius. Serius tapi sayang! Muah muah lah si Mamahku ini. Beliau kali ini berujar,

“Zar, hari ini kuliah ah! Sadar atuh ama siksa IPK! Gimana kamu bisa kerja kalau gigituan mulu. Bolos... tidur...”

“Selow, Mah...” Saya cepat-cepat menyudahi lalu pergi ke kamar.

Lalu buka laptop. Lalu nyalakan printer. Buka internet. Dan di layar terpampang jelas: BUKTI PENDAFTARAN AUDISI INDONESIAN IDOL. Yes, terus saya ketiklah nama saya “Tezar Aditya”. Dan saya tamati semuanya dengan meng-klik tombol print.

Seraya mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya ambil kertas print-nya, memasukinya ke dalam saku.

Abrakadabra! Hari ini perjalanan seorang idol baru telah saya mulai. Tidak sabar untuk menjabat tanganmu Mas Indra!

Tristia – Jurnal 09

*inspired by true story

Dodol Buaya

Sehidup semati dalam sebuah janji, selalu berdua, seperti buaya, begitulah adanya.

"Kok buaya sih?" keluh nona memotong pembicaraan.

Boi hanya tersenyum kecil, kemudian perlahan ia memegang kedua tangan pujaan hatinya itu. "Di Betawi, Buaya merupakan perlambangan suci sepasang kekasih. Sesungguhnya Buaya itu hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya. Meskipun terlihat seram, sangar, berandal, namun dia setia memegang janjinya."

" Lagi-lagi betawi, huh"

"haha, kau masih belum bisa mencintainya kah?, padahal esok hari pernikahan kita"

"Tidak juga, aku hanya jadi ingat kejadian itu"

Menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, nona diajak Boi bersilaturahmi ke rumah enyaknya. Dari depan rumah saja, sudah terlihat keramaian. Maklum saja enyak itu sesepuh kampung betawi, selain itu rumah enyak juga bersampingan dengan masjid agung. Jadi mau tidak mau, rumah yang hanya ditinggali boi dan enyaknya itu kerap ramai ketika ada hari-hari besar betawi. Apalagi dalam anggapan betawi, Ramadhan merupakan bulan istimewa yang paling penuh rahmat. Tentu menyambutnya harus pula istimewa.

Enyak ketika itu sedang asyik berada di belakang mengaduk satu kuali gula merah bersama ibu-ibu tetangga. Ketika pasangan mabuk cinta itu masuk ke dapur, langsung saja emak memanggil, "Boi, cepet sini suruh temen cewek lu bantuin enyak, tangan gw udah pegel nih".

Nona yang merasa dirinya disebut-sebut oleh enyak, langsung meremas erat tangan boi, "Aduh, aku harus ngapain nih?"

"yaudah sana bantuin enyak bikin dodol"

Dengan lembut Boi melepaskan remasan tangan Nona, kemudian masuk lagi ke ruang tengah, untuk kemudian keluar ke sebelah membantu bapak-bapak lain yang sedang membersihkan masjid.

Alhasil Nona jadi sendirian, dan kalau sudah begini, mau tidak mau Nona harus ikut membantu enyak membuat dodol. Oleh Nona, Diputarnya gula merah itu berkali-kali, mengikuti perintah enyak. Putarannya mulai mencapai puluhan, kemudian ratusan putaran, lalu ribuan, lalu... entahlah mungkin sampai puluhan ribu.

Tiba-tiba ditengah kepegalan yang amat sangat mengaduk gula merah, Emak yang suaranya serak-serak tua itu berujar, "Enyak nyuruh Nona ikut bikin dodol tuh bukan mau ngerjain, tapi kalo mau jadi istri orang betawi ya harus gini, harus nyobain bikin dodol". Enyak menambah lagi wejangannya, "Bikin dodol itu tuh butuh kesabaran, ketelatenan dan kekuatan, persis kayak kalo bikin rumah tangga, apalagi kan lu tiga bulan lagi mau nikah sama si Boi, ya semoga ini pelajaran bikin dodol bisa lu inget terus sampe tua sampe mati"

Seketika pegal tangan Nona hilang, seiring Enyak memberi wejangan. Rupa-rupanya Nona tahu kalau Enyak itu cuma pengen anaknya dapet perempuan yang baik. Setelah itu, adukan Nona semakin kencang semakin bertenanga, Nona benar-benar bersemangat karena enyak sudah memberi restu pada hubungan mereka. Tak lama dari itu, adzan magrib berkumandang dan itu sekaligus tanda kalau gula merah yang sedari tadi diaduk-aduk itu sudah mengental, menjadi dodol. Kemudian kegiatan dapur otomatis berhenti dan Enyak mengajak Nona untunk sholat di masjid. Sepasang calon menantu dan mertua itu terlihat serasi, kemudian mulai terciptalah canda tawa dalam obrolan mereka menuju masjid.

Dari masjid, Boi hanya senyum-senyum saja melihat kedua perempuan kesayangannya itu akrab satu sama lain. Setelah selesai salam, Boi langsung mendatangi Enyak dan Nona yang ada di barisan belakang masjid, “Nyak, Nona Boi anterin pulang dulu yak, gak enak kalo kemaleman”.

Yaudah deh, ati-ati lo yak, lain kali ajak lagi kemari si Nona”

Iya Nyak”, ujar kedua pasangan itu.

Sepanjang perjalanan, Nona hanya cemberut sambil memijit-mijit tangannya sendiri. Sedangkan Boi, seperti biasa hanya tersenyum kecil dan kemudian berkata, "Terimakasih Nona".

M.Baghendra Lodra - Jurnal 06

Baso Tahu

Imam itu berdiri berbalik merapatkan jemaahnya. Bagusnya, katanya, sampai bersentuhan lunak dengan kanan-kirimu. Pria wanita ia tegur - jika barisan perwujudan tiang agama itu bolongnya terlihat. Ketika mengucap takbir akbar gaungnya menghantui.
.
Selepas tamatnya ritual terdapat satu orang pemuda menghampirinya. Bersama pemuda itu ia berjalan beriringan meninggalkan Masjid. Ia siap menjadi peminat paling setia ode sang pemuda.
.
Kalau saja aku bisa mentraktirnya makan baso tahu, sambil bertanya mengapa ia sampai hati bilang kenaikan BBM itu haram. Dan bagaimana bisa dosen-dosen institut teknologi itu merupakan budak dari jeratan kapitalisme. Haha.
Tristia - Jurnal 09

Kota Ini

Kota ini semakin tua
tapi tidak ada kesederhanaan seorang tua
Lihat wajahnya yang penuh rona
seperti remaja putri saban malam Minggu
Berias, enth untuk siapa
Menunggu, entah untuk apa
Atau jangan-jangan memang tak ada ajakan pergi,
.
Dua jam lalu
hanya derau ujung daun cemara menampar jendela kamar...
Iman Purnama - Jurnal 08