Senin, 21 November 2011
Gun is Fired - 001
Sebenarnya saya bingung harus menyapa seperti apa.
Pertama saya minta maaf untuk pemilik asli akun ini.
...shnklnflk;sadhn;
Saya tidak akan menghapus atau mengedit apa yang saya tulis di sini karena jika saya harus mengulangnya, saya tidak yakin masih mengingat atau tidak apa yang akan saya tuliskan.
Setidaknya saya harus meninggalkan jejak di sini.
Ini akan jadi catatan ingatan saya.
Rabu, 09 November 2011
Makna
Kamis, 03 November 2011
Renyai
Pada jejak kaki subuh, tertinggal bekas hadangan bulan
Ranting setengah basah. Tergigit hujan kemarin malam
Dalam hutan, anak tupai bermain-main dengan tetesan hujan
Sedang anak manusia bergegas lari
tenggelam dalam hangat ketiak Ibu
Adakah manusia cemas pada sederet rahmat
yang berbunyi lirih di atas genting?
Atau rahmat hanyalah sepotong pelangi
yang enggan berbagi warna yang fana?
Kau, berkatalah pada mereka yang membuka payung dengan tergesa
Adakah sesal pada bangunan-bangunan tinggi
yang tak mampu melindungi?
Atau justru mereka timpakan kekesalan pada pohon kiara
yang seketika berubah jadi barisan tentara?
Langit akan runtuh, sedang laut pasti surut
Tapi, barangkali, sejumlah narasi yang terketik rapi dalam deretan renyai ini
tak akan lepas lesat menjadi layang
karena bidak catur Sang Kala sendiri belum terjamah bayang
-- cerita memang belum usai.
Bulan Senja
Mungkin di bulan masih senja
Kau bilang, padaku ketika
dengan senyum aku menunjuk pada angkasa
pada bulan yang kekuningan jingga
.
Apa kau percaya ada kehidupan di sana?
Kau tanya, padaku ketika
kita sama-sama memandang bulan yang senja
abaikan lampu yang menelan bintang bercahaya
dan terhadap motor alay yang riuh
– kita juga abai
.
Aku tak tahu, apalagi
yakin, bahwa di sana
di bulan yang sedang senja
ada yang seperti kau bilang,
kehidupan dengan makhluk-makhluk
yang
di luar batas imaji kita
yang
juga sedang mereka-reka
apa di bumi juga
ada kehidupan seperti mereka?
.
Barangkali,
di sana
di bulan yang sedang senja
juga sedang ada
sepasang makhluk yang saling jatuh cinta
sedang berangkulan
menatap bumi kita
sambil bertanya
apa kau percaya ada kehidupan di sana?
.
Apa sebenarnya kita sedang saling menatap?
.
Senin, 31 Oktober 2011
Orkes Malam
Seperempat layang candra tenggelam
hitam langit legam dan tajam
Aku rindukan satu purnama
bugilnya para peri dan perawan
Jatinangor, 31 Oktober 2011
Secangkir Puisi
1/
Sungkan mata terbuka
semasa tembakan surya menyapu mata.
Secangkir kopi dan catatan puisi
aku membuka jendela pagi
2/
Kenapa bukan Shira
dan kenapa harus secangkir puisi? terlalu matang menanak rindu
Tersepuh waktu metronom semu, menunggangi api.
Tak gentar menantang masa kerna aku lelaki
Bismillah, rerintik puisi mengantarkan alur cerita cinta atas ridhoNya.
Jatinangor, 31 Oktober 2011
Minggu, 30 Oktober 2011
Kelu
Kamis, 20 Oktober 2011
5 Haiku Roby Fuzi (2010)
Buat Aliem Imron
mencium mawar
rindu terkunci samar
ingat akanmu
mencium parfum
aroma bertaburan
harum sifatmu
aku terdiam
menulis riuh rindu
pada sosokmu
Jatinangor, 22 September 2010
Hukum Indon
busuk tercium
hukum di beli kontan
semua diam
Tasikmalaya, 10 November 2010
Kemerdekan = Uang!
tahanan senang
keluar masuk kandang
dimana hukum?
keluar uang
institusi pun diam
bapak pun senang
Tasikmalaya, 14 November 2010
Melancholia
sakura gugur
mengubur luka lama
hadirkan cinta
sedih tertepis
berganti komposisi
damai tercipta
Singaparna, 24 September 2010
Membakar Marah
api berkobar
amarah hangus lebur
retakan jiwa
purnama terang
marah tersapu kasih
jiwa yang tenang
Jakarta, 23 September 2010
Menafsirkan Rindu
seperti malam biasa...
aku perawani harmonica dengan desahan yang bersuarakan detak-detak rindu
gundah telah menarikan pikiran pada malam seksi
ketika tembakan merkuri menampar kilaunya bintang
sudah muak aku mendengar
kata-kata 'rindu' dari mulut biduan yang sulit di tafsirkan oleh rasa
lalu...
ku teguk tuak untuk memulai percakapan
dari gelas Nietzsche yang aku pinjam semalam
jelas aku mabuk, kasih. olehmu!
yang dulu menemaniku berfantasi di ranjang reyot
akhirnya runtuh juga
kini...
mengajak Rumi mabuk di kamar mandi, disaksikan Gibran yang lagi onani
saraf terputus, potret gila tercetak api
para sufi mencukur jembut, komposisi sunyi.
----
Jatinangor, 14 Agustus 2011
Selasa, 11 Oktober 2011
tradisi
yang membelai lembut
yang pelan-pelan merangsek masuk
ke pori-pori kulit
ketika hanya ada gelap
aku memilih daun kawung dan tembakau mole yang terbakar pelan
sungguh tradisi kuno
sungguh penyakitan
sebenarnya, malu aku pada Arctic Monkey
serta layar komputer
malu aku pada paru-paru
dan batuk-batuk kecil
tapi biarlah
toh Soekarno pernah bilang:
Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
Sabtu, 08 Oktober 2011
Pudar
berubah perlahan
pelan, tapi signifikan
kau mulai tunjukkan merah jambu
simbol kewanitaanmu,
manis
dan sekarang,
bahkan aku bisa melihat putih mu
malu mu
entahlah,
apakah aku senang memandangi itu semua
apakah aku sanggup
mungkin akulah sang hujan,
yang menurutmu
telah menyapu semua kekeringan
dan karenanya timbul perubahan
yang jelas,
aku melihat kau
pudar...
Kamis, 15 September 2011
Ada Pagi yang Biasa dan yang Tak
Ada pagi yang biasa dan yang tak
Itu adalah saat kita memandang
Daun-daun yang berserak
Pada diam yang jatuh di setiap antara.
Bahagia
Perlukah kebahagiaan diberi nama?
Seperti bintik pada sayap kupu-kupu yang kita rawat
Hitung satu per satu. Teliti meniti tak lekas cergas
Namun kita memang tak pernah bisa puas
Barangkali musim semi telah tiba, mungkin juga tidak
"Karena perasaan tidak mengenal musim," kataku
"Dan yang ada hanyalah hari ini, pagi ini," katamu
Lihat jarum jam yang tertawa melihat esok; separuh ilusi putaran waktu, indah nyeri tak terperi gerakan maju.
Ada pagi yang biasa dan yang tak
Dan itu adalah pagi ini
Ketika segala bayang warna warni semu
Berubah menjadi wujud dirimu
Genggam lagi pagi. Jangan berlari.
Iman Purnama - Jurnal 08
Kamis, 08 September 2011
R.A.W. (Rutinitas, Aku, Waktu)
Rutinitas membutuhkan waktu
Dan tentu saja melibatkan tokoh, alur dan setting
.
Perkenalkanlah aku
Aku adalah tokoh utama rutinitasku
Dan mungkin aku adalah tokoh pelengkap rutinitasmu
.
Aku, tokoh utama rutinitasku?
Lalu, mengapa aku masih terjebak di dalamnya?
Bukankah ini rutinitasku?
Milikku, kuasaku?
.
Oh, tidak
Memang ini rutinitasku
Memang ini perjalananku
Semua itu dalam kuasaku
Tapi rutinitasku adalah bagian rutinitasmu
.
Dan, waktu ini adalah rahmat-Nya
Rahmat Sang Penguasa Waktu
dan tentu saja Ia juga Penguasaku
.
Oh, begitu
Ternyata aku bukan penguasa waktu
Ternyata aku bukan penguasa rutinitasku
.
Karena rutinitasku membutuhkan waktu
Karena rutinitasku juga bagian dari rutinitasmu
Karena kita membutuhkan Sang Penguasa Waktu
.
Lindur - Jurnal 07
(tanpa judul)
Sungguh terik tak berperasaan, memanggang makhluk daratan sampai gersang. Semilir angin membawa setumpuk debu dari berbagai arah, siap menerjang aku yang telah tumbang. Namun, kelelahanku sirna ketika angin berhembus sepoi dengan kesunyian terik matahari itu, seolah mengganti waktu menjadi senja.
Menyibak rindang pohon di seberang mata. Tapi apakah mata ini akan tetap sama memandang pohon itu secara tenang, jika ternyata angin tak pernah datang?
Ana – Jurnal 09
Simbol
Aku tak melihat sphinx disini, tapi bangunan piramida tak sempurna itu ada dimana-mana.
Ia melekat dalam pikiran pria tak bercincin. Hinggap membodohi mereka.
Mereka sibuk berkonspirasi. Menelusur ayat-ayat Tuhan, membongkar setiap kitab.
Aku kaget, mata mereka berubah liar melihat diriku. Menunjukku sebagai wakil setan.
Mereka takut, aku menguasai dunia. Mereka membela, akulah teror sesungguhnya.
Mereka menelanjangiku dengan firman, meski firman mereka, aku yang buat.
Mereka mencerca setiap bintang jatuh tak sempurna.
Hey, bukankah itu hanya sebuah simbol?
Tanpa sadar, simbolku telah mereka pergunakan, sebagai tempat ibadah, sebagai simbol negara, sebagai simbol majunya pendidikan.
Apa yang mereka perjuangkan? Tuhan?
Mereka padahal jarang berkunjung ke rumah Tuhan.
Lagipula, Tuhan takkan sudi untuk dibela.
Aku hanya simbol, simbol akan ketakutan.
Vady Prasetya – Jurnal 09
Hilang
Ada yang menolak lupa
dengan mengucap segala kata
Tapi aku ingin memberi ingatan
dengan tatapan mata.
Seperti menara
Seperti cahaya
di ujung pantai, di langit yang tak ada tepi
Sepi semua bermula
.
Setelah semuanya hilang
tetap ada yang terbilang:
Bisu
yang Kekal
Iman Purnama – Jurnal 08
Hari Ini
...adalah lembaran baru bagiku. Begitu sih yang dikatakan Joy Tobing. Lupa saya judul lagunya apa. Tapi dari tadi, saya nembang-nembangin lagu itu terus. Sewaktu mandi dan odol habis. Terus waktu nyukur alis biar jadinya agak-agak tampan bagaimana yah?
Selepas mandi ada si Mamah. Masak sayur lodeh. Padahal pengennya saya mah si Mamah masak karedok leunca. Terus di dapur juga ada si Teteh sedang cuci-cuci piring sembari mendengarkan suara payah si David Archuletta. Terus saya timpalin pakai lagu “Ekspresi”, yang dinyanyiin juga sama para kontestan Indonesian Idol. Diteriakin-teriakin saja tuh ini suara saya dengan tujuan si Teteh kesel. Udahan begitu saja nyuci piringya si Teteh sambil muncrat-muncratin air ke muka saya. Haha, pundung si Teteh lah!
Si Mamah, seperti biasa cuek-cuek saja melihat adegan “kemesraan” diantara kami berdua. Sewaktu saya duduk di kursi meja makan, Mamah menaruh si sayur lodeh dan pada akhirnya bertitah, “Si Mang Endu nggak jualan leunca euy. Padahal Mamah pengen bikin karedok leunca.” Gila! Ini emak sejatinya saya sangat lah. Sehati gitu sama kehendaknya saya! Pemikiran akan romantisme hubungan Bunda-Ananda ini, sumpah, nyogok si saya supaya makan sayur lodehnya si Mamah!
Selesai menghabisi mampus sang sayur lodeh naudzubillah tadi, si Mamah melihat, menatap saya. Tatapannya kali ini agak serius. Serius tapi sayang! Muah muah lah si Mamahku ini. Beliau kali ini berujar,
“Zar, hari ini kuliah ah! Sadar atuh ama siksa IPK! Gimana kamu bisa kerja kalau gigituan mulu. Bolos... tidur...”
“Selow, Mah...” Saya cepat-cepat menyudahi lalu pergi ke kamar.
Lalu buka laptop. Lalu nyalakan printer. Buka internet. Dan di layar terpampang jelas: BUKTI PENDAFTARAN AUDISI INDONESIAN IDOL. Yes, terus saya ketiklah nama saya “Tezar Aditya”. Dan saya tamati semuanya dengan meng-klik tombol print.
Seraya mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya ambil kertas print-nya, memasukinya ke dalam saku.
Abrakadabra! Hari ini perjalanan seorang idol baru telah saya mulai. Tidak sabar untuk menjabat tanganmu Mas Indra!
Tristia – Jurnal 09
*inspired by true story
Dodol Buaya
Sehidup semati dalam sebuah janji, selalu berdua, seperti buaya, begitulah adanya.
"Kok buaya sih?" keluh nona memotong pembicaraan.
Boi hanya tersenyum kecil, kemudian perlahan ia memegang kedua tangan pujaan hatinya itu. "Di Betawi, Buaya merupakan perlambangan suci sepasang kekasih. Sesungguhnya Buaya itu hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya. Meskipun terlihat seram, sangar, berandal, namun dia setia memegang janjinya."
" Lagi-lagi betawi, huh"
"haha, kau masih belum bisa mencintainya kah?, padahal esok hari pernikahan kita"
"Tidak juga, aku hanya jadi ingat kejadian itu"
Menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, nona diajak Boi bersilaturahmi ke rumah enyaknya. Dari depan rumah saja, sudah terlihat keramaian. Maklum saja enyak itu sesepuh kampung betawi, selain itu rumah enyak juga bersampingan dengan masjid agung. Jadi mau tidak mau, rumah yang hanya ditinggali boi dan enyaknya itu kerap ramai ketika ada hari-hari besar betawi. Apalagi dalam anggapan betawi, Ramadhan merupakan bulan istimewa yang paling penuh rahmat. Tentu menyambutnya harus pula istimewa.
Enyak ketika itu sedang asyik berada di belakang mengaduk satu kuali gula merah bersama ibu-ibu tetangga. Ketika pasangan mabuk cinta itu masuk ke dapur, langsung saja emak memanggil, "Boi, cepet sini suruh temen cewek lu bantuin enyak, tangan gw udah pegel nih".
Nona yang merasa dirinya disebut-sebut oleh enyak, langsung meremas erat tangan boi, "Aduh, aku harus ngapain nih?"
"yaudah sana bantuin enyak bikin dodol"
Dengan lembut Boi melepaskan remasan tangan Nona, kemudian masuk lagi ke ruang tengah, untuk kemudian keluar ke sebelah membantu bapak-bapak lain yang sedang membersihkan masjid.
Alhasil Nona jadi sendirian, dan kalau sudah begini, mau tidak mau Nona harus ikut membantu enyak membuat dodol. Oleh Nona, Diputarnya gula merah itu berkali-kali, mengikuti perintah enyak. Putarannya mulai mencapai puluhan, kemudian ratusan putaran, lalu ribuan, lalu... entahlah mungkin sampai puluhan ribu.
Tiba-tiba ditengah kepegalan yang amat sangat mengaduk gula merah, Emak yang suaranya serak-serak tua itu berujar, "Enyak nyuruh Nona ikut bikin dodol tuh bukan mau ngerjain, tapi kalo mau jadi istri orang betawi ya harus gini, harus nyobain bikin dodol". Enyak menambah lagi wejangannya, "Bikin dodol itu tuh butuh kesabaran, ketelatenan dan kekuatan, persis kayak kalo bikin rumah tangga, apalagi kan lu tiga bulan lagi mau nikah sama si Boi, ya semoga ini pelajaran bikin dodol bisa lu inget terus sampe tua sampe mati"
Seketika pegal tangan Nona hilang, seiring Enyak memberi wejangan. Rupa-rupanya Nona tahu kalau Enyak itu cuma pengen anaknya dapet perempuan yang baik. Setelah itu, adukan Nona semakin kencang semakin bertenanga, Nona benar-benar bersemangat karena enyak sudah memberi restu pada hubungan mereka. Tak lama dari itu, adzan magrib berkumandang dan itu sekaligus tanda kalau gula merah yang sedari tadi diaduk-aduk itu sudah mengental, menjadi dodol. Kemudian kegiatan dapur otomatis berhenti dan Enyak mengajak Nona untunk sholat di masjid. Sepasang calon menantu dan mertua itu terlihat serasi, kemudian mulai terciptalah canda tawa dalam obrolan mereka menuju masjid.
Dari masjid, Boi hanya senyum-senyum saja melihat kedua perempuan kesayangannya itu akrab satu sama lain. Setelah selesai salam, Boi langsung mendatangi Enyak dan Nona yang ada di barisan belakang masjid, “Nyak, Nona Boi anterin pulang dulu yak, gak enak kalo kemaleman”.
“Yaudah deh, ati-ati lo yak, lain kali ajak lagi kemari si Nona”
“Iya Nyak”, ujar kedua pasangan itu.
Sepanjang perjalanan, Nona hanya cemberut sambil memijit-mijit tangannya sendiri. Sedangkan Boi, seperti biasa hanya tersenyum kecil dan kemudian berkata, "Terimakasih Nona".
M.Baghendra Lodra - Jurnal 06
Baso Tahu
Kota Ini
Sabtu, 13 Agustus 2011
-
Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan,
bukan yang kita inginkan
Karena Ia yang Maha-Maha…
Karena Ia lebih menyayangi
dibanding Ibu kita
Karena Ia lebih dekat
dari urat leher kita sendiri
- Hafiyyan "Pache", Jurnal 07
Jumat, 12 Agustus 2011
Bicara
Jika orang-orang bicara tentang revolusi
aku akan bicara tentang daun-daun
yang bergerak menyelimuti angkasa
-
Jika orang-orang bicara tentang apa yang tersaji
dalam koran
dalam radio
dalam televisi
aku akan bicara tentang semut-semut
yang diam-diam mencuri gula
-
Jika orang-orang berdebat tentang Tuhan
dan mencaci
dan merusak
dan membunuh
atas nama-Nya
aku akan bicara tentang dua parkit jingga
yang bercumbu di balik Gereja
-
Jika orang-orang bicara tentang cinta
aku akan bicara tentang kamu
yang pernah memakai cat kuku hijau
dan berkata mengapa tidak biru
-
Jika orang-orang bicara tentang kehidupan
aku akan bicara tentang gerak dan nafas
yang menjelma pada suatu sore yang menguning
- Iman Purnama, Jurnal 08
Kamis, 11 Agustus 2011
Gunturku Bukan Anak Lelaki Seberang Jalan
Guntur kali ini bukan sang geledek di awan yang seenak bujur main ambu dengan bumi.
Sempat menggetarkan namun bisa-bisanya hanya main-main dan sesekali!
Apalagi-lah gunturku bukan anak lelaki seberang jalan yang biasanya lontar ledek
Ini guntur
gunturku
dan guntur bagi semua dzat yang mendarah dagingnya
guntur ini akan kubagi
kupreteli hingga imaji tangguh yang liar, yang dicipta para penakluk membuatmu terbuai terhipnotis
Tinggi menjulang
Gunturku setapak alur terjal dan sungguh jalanglah ia. Mata air yang sempat menghibur dan jernih terasa, serta merta hutan singkat yang bisik anginnya kerap menenangkan. Lantas selanjutnya kau akan terpaku dengan sehamparan ilalang kering bagai sabana Afrika pengiring tapak kokoh pasang kaki. Bermuara pada dahaga puas dan pucaknya itu yang sungguh hijau, megah, luas. 2000 lebih mdpl dan semesta tak henti mendekap. Semesta dan saripati pegunungan dunia pun turut berbisik, “Jadilah, hey, manusia melebur dengan guntur dan alam liarnya.”
Guntur dan aku salinglah bernegoisasi dan berinisiasi hingga tiada pihak yang merugi. Aku bukanlah penakluk guntur, melainkan penakluk diri sendiri.
- Tristia Riskawati, Jurnal 09
Rabu, 10 Agustus 2011
Nafsu
ketika dekat...
tak ada lagi keinginan
mungkin...
sudah merasa terpuaskan
Gelombang-gelombang lautan itu terus menghantam
awalnya suatu kekuatan, Dahsyat...
teratur dan bersinambung
lama-lama terbiasa
sekarang...
sudah tak berasa
Dialog Pukul Satu
Tulisan
Tulisan adalah lukisan yang bergerak hidup
Tinta menjadi imaji
Kuas menjelma makna
Semua digantung dengan bingkai penuh ukiran kata-kata
Sedang kanvasnya sendiri adalah kehidupan manusia-manusia
-
Iman Purnama, Jurnal 08
Sabtu, 30 Juli 2011
Aku tak ingin
Kamis, 28 Juli 2011
Tuan Tangguh
Saya meninjau tuan. Tuan yang dulu hancur kini mulai tumbuh. Tuan memang tangguh
Kehancuran awal dari pertumbuhan, hey tuan. Suksesi primer dalam pelajaran biologi memaparkan, ketika gunung krakatau meletus, habitat di sekitarannya hancur lebur mengabu.
tetapi lihat sekarang adanya, tumbuh beragam flora di sana. Menandai kehidupan baru. Beragam potensi biota pesisir itu sungguh meramaikan keanekaragaman hayati dunia.
Tuan dulu hancur. Tuan dulu terpuruk. Busuk
Kegelapan merundung tuan, tapi tuan tidak terhenti! Tuan mencari celah tanpa lelah
Gudangnya siasat ialah tuan dengan dibimbing Tuhan maka niscaya tak tersesat
Lihat tuan sekarang! Tuan tangguh dan tuan bersungguh-sungguh
Tuan berhibernasi. Menyiapkan amunisi.
Tuan tak harus jadi primadona atau primadono untuk mengabdi. Tuan tahu itu. Tuan bertutur. Menyampaikan. Tuan berlagak biasa padahal luarbiasa di dalamnya.
Dan tuan tersenyum. Saat tahu hasil bukanlah suatu ukuran kemenangan seseorang,
melainkan proses.
- Tristia Riskawati, Jurnal 09
Selasa, 11 Januari 2011
Ontologi Kelab Fiksi, 16 Desember 2010
I.
tolong tutup sedikit celah pintu di kulit ini,
atau minimal, tariklah sebentar nafasmu,
untuk ciptakan hawa hangat.
semakin tinggi pohon, makin keras angin yang menerpa,
kasihan pohon yang tinggi itu,
kami yang di bawah sini pun kedinginan.
(Adhi Fahmi, Jurnal 09)
II.
gumpalan nafas menari di udara,
menyambut kawanan baru yang terlahir di dunia.
tercipta berkat rasa.
alunan nada perlahan menghilang.
tenggelam,
lalu terbang.
melesat dalam bayang.
(Ifa Paramitha, Jurnal 07)
III.
derap langkah mereka tak pernah henti. menjejak lamunan dalam perasaan risih. terkadang, bahkan menjadi bahan caci maki. mereka hanya berharap dosanya kan tercuci. meski dalam ingatannya, setiap manusia tidaklah suci. harapannya membuncah begitu menjadi. langkahnya semakin cepat seolah berlari. tak henti termakan hari. apa yang membuatku begitu benci? tunjukanlah pada mereka satu hati. sekumpulan pria yang mencintai sesama lelaki. aku hanya menjerit dalam hati, TAI !!!!!
(Frasetya Vady Aditya, Jurnal 09)
IV.
Gila benar-benar gila
Aku kesal dengan diriku ini
Lemah karena aku tak berani
Aku tahu ini berat
Untuk meraih hatimu
Segala emosi ku
Entah apa yang aku kejar
Lepas dari semua amarahku
Luluh di dalam hatiku
Yang paling dalam
Gila segila-gilanya
Waktuku hanya untukmu
Semua hanya untukmu
Aku akan mengatakan sesuatu
Yang paling buatku menyukaimu
Aku suka senyummu
Namun itu membuatku menjadi
Gila segila-gilanya
Lepas ku melayang
Oh karena dirimu....
(Satria Perdana, Jurnal 09)
V.
pohon, hijau, berdiri, melindungi, meneduhkan
langit, biru, putih, mengambang, menenangkan
dan saya merasa sangat beruntung masih bisa menikmati keduanya
seberuntung hatiku yang masih bisa berlari
..................................................
..................................................
..................................................
hati, akal, dan tubuhku adalah syaratku mendapatkan hati, akal, dan tubuhmu.
akan ikhlas kuberikan padamu asal sesuai dengan norma ilahi
seikhlas pohon yang memberikan hijau, perlindungan, peneduhan
seikhlas langit yang memberikan biru, putih, ketenangan.
(Hafiyan Lindur (Apache), Jurnal 07)
VI.
terjebak dalam rutinitas
hingga meranggas
dan tanpa batas,
lalu, mau jadi apa aku setelah lulus?
(Lala Merdekawati, Jurnal 07)
VII.
ANJING !!! dentuman musik bernada sumbang itu mengganggu telingaku.
malahan sekarang sudah masuk ke kerongkongan, menjalar masuk pembuluh darah.
sekarang, teman-teman diskusiku ikut tertular. lingkaran duduk kami jadi penyakitan.
oh, sungguh kesal tak tertahankan.
Grrrr.
(Baghendra Lodra, Jurnal 06)
VIII.
pada waktu yang selang,
dan langit sedang dirundung malang,
ah, kita masih duduk,
untuk tujuan yang tak satu setan pun mengerti
atau Tuhan yang berbaik hati,
menempatkanku padamu,
atau memang bumi,
yang pasrah untuk kita tempati selalu?
(Dimas Dito, Jurnal 07)
IX
salah, ucapkan selamat tinggal terlalu dini.
tabung-tabung perak dentumkan keroncongan.
sungguhpun ada lembaran serial.
kulambaikan sampai jumpa esok hari,
terlalu dini.
(Haekal Adzani, Jurnal 07)