Senin, 21 November 2011

Gun is Fired - 001

Halo...fkldsofjboashndrou8g5423895t2bt5
Sebenarnya saya bingung harus menyapa seperti apa.
Pertama saya minta maaf untuk pemilik asli akun ini.
...shnklnflk;sadhn;

Saya tidak akan menghapus atau mengedit apa yang saya tulis di sini karena jika saya harus mengulangnya, saya tidak yakin masih mengingat atau tidak apa yang akan saya tuliskan.

Setidaknya saya harus meninggalkan jejak di sini.
Ini akan jadi catatan ingatan saya.

Rabu, 09 November 2011

Makna

Gelap. dan aku melihat kau tersipu, tertawa. "Kamu manusia paling tidak peka" Ujarnya kepadaku setengah tertawa Aku meraba mencari maknanya Bukan kalimatnya, tapi tawanya Dia menceritakan tentang engkau, hei sahabat kecilku sayang Alunan indah itu berbeda Dan entah kenapa itu terdengar seperti suara bom berjatuhan Dia mengangankan tentang engkau, hei sahabat kecilku sayang Alunan cerita yang tak pernah kudengar sebelumnya Seperti cerita dongeng waktu ibumu menceritakan untuk kita dulu Dan entah mengapa itu terlihat seperti perang dalam khayalanku Dia memujamu, hei sahabat kecilku tersayang Alunan kata dan senyum dia sempurna ketika menceritakanmu Matanya bulat penuh harap impian untukmu Dan aku hanya terdiam membisu Merasakan bagian lain diriku marah Hei sahabat kecilku sayang, Sekarang aku tahu tawa dia tentang ketidakpekaanku Itu bukan tawa Tapi pisau yang dia tusukkan di belakang tubuhku Hei sahabat kecilku sayang, Maukah kau melepaskan pisau itu? Karena aku ingin kau tetap di sini. Jatinangor, 9-11-11

Kamis, 03 November 2011

Renyai

Pada jejak kaki subuh, tertinggal bekas hadangan bulan

Ranting setengah basah. Tergigit hujan kemarin malam

Dalam hutan, anak tupai bermain-main dengan tetesan hujan

Sedang anak manusia bergegas lari

tenggelam dalam hangat ketiak Ibu

Adakah manusia cemas pada sederet rahmat

yang berbunyi lirih di atas genting?

Atau rahmat hanyalah sepotong pelangi

yang enggan berbagi warna yang fana?

Kau, berkatalah pada mereka yang membuka payung dengan tergesa

Adakah sesal pada bangunan-bangunan tinggi

yang tak mampu melindungi?

Atau justru mereka timpakan kekesalan pada pohon kiara

yang seketika berubah jadi barisan tentara?

Langit akan runtuh, sedang laut pasti surut

Tapi, barangkali, sejumlah narasi yang terketik rapi dalam deretan renyai ini

tak akan lepas lesat menjadi layang

karena bidak catur Sang Kala sendiri belum terjamah bayang

-- cerita memang belum usai.

Bulan Senja

Mungkin di bulan masih senja

Kau bilang, padaku ketika

dengan senyum aku menunjuk pada angkasa

pada bulan yang kekuningan jingga

.

Apa kau percaya ada kehidupan di sana?

Kau tanya, padaku ketika

kita sama-sama memandang bulan yang senja

abaikan lampu yang menelan bintang bercahaya

dan terhadap motor alay yang riuh

– kita juga abai

.

Aku tak tahu, apalagi

yakin, bahwa di sana

di bulan yang sedang senja

ada yang seperti kau bilang,

kehidupan dengan makhluk-makhluk

yang

di luar batas imaji kita

yang

juga sedang mereka-reka

apa di bumi juga

ada kehidupan seperti mereka?

.

Barangkali,

di sana

di bulan yang sedang senja

juga sedang ada

sepasang makhluk yang saling jatuh cinta

sedang berangkulan

menatap bumi kita

sambil bertanya

apa kau percaya ada kehidupan di sana?

.

Apa sebenarnya kita sedang saling menatap?

.

Pondok Kharisma, 24 September 2011
atas nama cinta
d.s.

Senin, 31 Oktober 2011

Orkes Malam

Oleh: Roby Fuzi Apriansyah

Seperempat layang candra tenggelam
hitam langit legam dan tajam
Aku rindukan satu purnama
bugilnya para peri dan perawan


Jatinangor, 31 Oktober 2011

Secangkir Puisi

Oleh: Roby Fuzi Apriansyah

1/
Sungkan mata terbuka
semasa tembakan surya menyapu mata.
Secangkir kopi dan catatan puisi
aku membuka jendela pagi

2/
Kenapa bukan Shira
dan kenapa harus secangkir puisi? terlalu matang menanak rindu
Tersepuh waktu metronom semu, menunggangi api.
Tak gentar menantang masa kerna aku lelaki
Bismillah, rerintik puisi mengantarkan alur cerita cinta atas ridhoNya.


Jatinangor, 31 Oktober 2011

Minggu, 30 Oktober 2011

Kelu

Hujan malam minggu jatuh ga lagi tersedu-sedu. Batal sudah aku merasa sendu. Padahal rindu ini sungguh menggebu. Terlalu sayang kalau cepat berlalu. Ah sudahlah..anggap saja ini dengusan rancu. Untuknya yang tak lagi menunggu...aku.

Kamis, 20 Oktober 2011

5 Haiku Roby Fuzi (2010)

Rindu
Buat Aliem Imron

mencium mawar
rindu terkunci samar
ingat akanmu

mencium parfum
aroma bertaburan
harum sifatmu

aku terdiam
menulis riuh rindu
pada sosokmu

Jatinangor, 22 September 2010


Hukum Indon

busuk tercium
hukum di beli kontan
semua diam

Tasikmalaya, 10 November 2010


Kemerdekan = Uang!

tahanan senang
keluar masuk kandang
dimana hukum?

keluar uang
institusi pun diam
bapak pun senang

Tasikmalaya, 14 November 2010


Melancholia

sakura gugur
mengubur luka lama
hadirkan cinta

sedih tertepis
berganti komposisi
damai tercipta


Singaparna, 24 September 2010


Membakar Marah 


api berkobar
amarah hangus lebur
retakan jiwa

purnama terang
marah tersapu kasih
jiwa yang tenang

Jakarta, 23 September 2010

Menafsirkan Rindu

Oleh: Roby Fuzi


seperti malam biasa..​.
aku perawani harmonica dengan desahan yang bersuaraka​n detak-deta​k rindu
gundah telah menarikan pikiran pada malam seksi
ketika tembakan merkuri menampar kilaunya bintang

sudah muak aku mendengar
kata-kata 'rindu' dari mulut biduan yang sulit di tafsirkan oleh rasa
lalu...
ku teguk tuak untuk memulai percakapan
dari gelas Nietzsche yang aku pinjam semalam

jelas aku mabuk, kasih. olehmu!
yang dulu menemaniku​ berfantasi​ di ranjang reyot
akhirnya runtuh juga

kini...
mengajak Rumi mabuk di kamar mandi, disaksikan​ Gibran yang lagi onani
saraf terputus, potret gila tercetak api
para sufi mencukur jembut, komposisi sunyi.
----

Jatinangor​, 14 Agustus 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

tradisi

sungguh aku terlena oleh dingin
yang membelai lembut
yang pelan-pelan merangsek masuk
ke pori-pori kulit

ketika hanya ada gelap
aku memilih daun kawung dan tembakau mole yang terbakar pelan
sungguh tradisi kuno
sungguh penyakitan

sebenarnya, malu aku pada Arctic Monkey
serta layar komputer
malu aku pada paru-paru
dan batuk-batuk kecil

tapi biarlah
toh Soekarno pernah bilang:
Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pudar

Warna yang merah tegas
berubah perlahan
pelan, tapi signifikan

kau mulai tunjukkan merah jambu
simbol kewanitaanmu,
manis

dan sekarang,
bahkan aku bisa melihat putih mu
malu mu

entahlah,
apakah aku senang memandangi itu semua
apakah aku sanggup

mungkin akulah sang hujan,
yang menurutmu
telah menyapu semua kekeringan
dan karenanya timbul perubahan

yang jelas,
aku melihat kau
pudar...

Kamis, 15 September 2011

Ada Pagi yang Biasa dan yang Tak

Ada pagi yang biasa dan yang tak

Itu adalah saat kita memandang

Daun-daun yang berserak

Pada diam yang jatuh di setiap antara.

Bahagia

Perlukah kebahagiaan diberi nama?

Seperti bintik pada sayap kupu-kupu yang kita rawat

Hitung satu per satu. Teliti meniti tak lekas cergas

Namun kita memang tak pernah bisa puas

Barangkali musim semi telah tiba, mungkin juga tidak

"Karena perasaan tidak mengenal musim," kataku

"Dan yang ada hanyalah hari ini, pagi ini," katamu

Lihat jarum jam yang tertawa melihat esok; separuh ilusi putaran waktu, indah nyeri tak terperi gerakan maju.

Ada pagi yang biasa dan yang tak

Dan itu adalah pagi ini

Ketika segala bayang warna warni semu

Berubah menjadi wujud dirimu

Genggam lagi pagi. Jangan berlari.

Iman Purnama - Jurnal 08

Kamis, 08 September 2011

R.A.W. (Rutinitas, Aku, Waktu)

Rutinitas membutuhkan waktu

Dan tentu saja melibatkan tokoh, alur dan setting

.

Perkenalkanlah aku

Aku adalah tokoh utama rutinitasku

Dan mungkin aku adalah tokoh pelengkap rutinitasmu

.

Aku, tokoh utama rutinitasku?

Lalu, mengapa aku masih terjebak di dalamnya?

Bukankah ini rutinitasku?

Milikku, kuasaku?

.

Oh, tidak

Memang ini rutinitasku

Memang ini perjalananku

Semua itu dalam kuasaku

Tapi rutinitasku adalah bagian rutinitasmu

.

Dan, waktu ini adalah rahmat-Nya

Rahmat Sang Penguasa Waktu

dan tentu saja Ia juga Penguasaku

.

Oh, begitu

Ternyata aku bukan penguasa waktu

Ternyata aku bukan penguasa rutinitasku

.

Karena rutinitasku membutuhkan waktu

Karena rutinitasku juga bagian dari rutinitasmu

Karena kita membutuhkan Sang Penguasa Waktu

.

Lindur - Jurnal 07

(tanpa judul)

Sungguh terik tak berperasaan, memanggang makhluk daratan sampai gersang. Semilir angin membawa setumpuk debu dari berbagai arah, siap menerjang aku yang telah tumbang. Namun, kelelahanku sirna ketika angin berhembus sepoi dengan kesunyian terik matahari itu, seolah mengganti waktu menjadi senja.

Menyibak rindang pohon di seberang mata. Tapi apakah mata ini akan tetap sama memandang pohon itu secara tenang, jika ternyata angin tak pernah datang?

Ana – Jurnal 09

Simbol

Aku tak melihat sphinx disini, tapi bangunan piramida tak sempurna itu ada dimana-mana.

Ia melekat dalam pikiran pria tak bercincin. Hinggap membodohi mereka.

Mereka sibuk berkonspirasi. Menelusur ayat-ayat Tuhan, membongkar setiap kitab.

Aku kaget, mata mereka berubah liar melihat diriku. Menunjukku sebagai wakil setan.

Mereka takut, aku menguasai dunia. Mereka membela, akulah teror sesungguhnya.

Mereka menelanjangiku dengan firman, meski firman mereka, aku yang buat.

Mereka mencerca setiap bintang jatuh tak sempurna.

Hey, bukankah itu hanya sebuah simbol?

Tanpa sadar, simbolku telah mereka pergunakan, sebagai tempat ibadah, sebagai simbol negara, sebagai simbol majunya pendidikan.

Apa yang mereka perjuangkan? Tuhan?

Mereka padahal jarang berkunjung ke rumah Tuhan.

Lagipula, Tuhan takkan sudi untuk dibela.

Aku hanya simbol, simbol akan ketakutan.

Vady Prasetya – Jurnal 09

Hilang

Ada yang menolak lupa

dengan mengucap segala kata

Tapi aku ingin memberi ingatan

dengan tatapan mata.

Seperti menara

Seperti cahaya

di ujung pantai, di langit yang tak ada tepi

Sepi semua bermula

.

Setelah semuanya hilang

tetap ada yang terbilang:

Bisu

yang Kekal

Iman Purnama – Jurnal 08

Hari Ini

...adalah lembaran baru bagiku. Begitu sih yang dikatakan Joy Tobing. Lupa saya judul lagunya apa. Tapi dari tadi, saya nembang-nembangin lagu itu terus. Sewaktu mandi dan odol habis. Terus waktu nyukur alis biar jadinya agak-agak tampan bagaimana yah?

Selepas mandi ada si Mamah. Masak sayur lodeh. Padahal pengennya saya mah si Mamah masak karedok leunca. Terus di dapur juga ada si Teteh sedang cuci-cuci piring sembari mendengarkan suara payah si David Archuletta. Terus saya timpalin pakai lagu “Ekspresi”, yang dinyanyiin juga sama para kontestan Indonesian Idol. Diteriakin-teriakin saja tuh ini suara saya dengan tujuan si Teteh kesel. Udahan begitu saja nyuci piringya si Teteh sambil muncrat-muncratin air ke muka saya. Haha, pundung si Teteh lah!

Si Mamah, seperti biasa cuek-cuek saja melihat adegan “kemesraan” diantara kami berdua. Sewaktu saya duduk di kursi meja makan, Mamah menaruh si sayur lodeh dan pada akhirnya bertitah, “Si Mang Endu nggak jualan leunca euy. Padahal Mamah pengen bikin karedok leunca.” Gila! Ini emak sejatinya saya sangat lah. Sehati gitu sama kehendaknya saya! Pemikiran akan romantisme hubungan Bunda-Ananda ini, sumpah, nyogok si saya supaya makan sayur lodehnya si Mamah!

Selesai menghabisi mampus sang sayur lodeh naudzubillah tadi, si Mamah melihat, menatap saya. Tatapannya kali ini agak serius. Serius tapi sayang! Muah muah lah si Mamahku ini. Beliau kali ini berujar,

“Zar, hari ini kuliah ah! Sadar atuh ama siksa IPK! Gimana kamu bisa kerja kalau gigituan mulu. Bolos... tidur...”

“Selow, Mah...” Saya cepat-cepat menyudahi lalu pergi ke kamar.

Lalu buka laptop. Lalu nyalakan printer. Buka internet. Dan di layar terpampang jelas: BUKTI PENDAFTARAN AUDISI INDONESIAN IDOL. Yes, terus saya ketiklah nama saya “Tezar Aditya”. Dan saya tamati semuanya dengan meng-klik tombol print.

Seraya mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya ambil kertas print-nya, memasukinya ke dalam saku.

Abrakadabra! Hari ini perjalanan seorang idol baru telah saya mulai. Tidak sabar untuk menjabat tanganmu Mas Indra!

Tristia – Jurnal 09

*inspired by true story

Dodol Buaya

Sehidup semati dalam sebuah janji, selalu berdua, seperti buaya, begitulah adanya.

"Kok buaya sih?" keluh nona memotong pembicaraan.

Boi hanya tersenyum kecil, kemudian perlahan ia memegang kedua tangan pujaan hatinya itu. "Di Betawi, Buaya merupakan perlambangan suci sepasang kekasih. Sesungguhnya Buaya itu hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya. Meskipun terlihat seram, sangar, berandal, namun dia setia memegang janjinya."

" Lagi-lagi betawi, huh"

"haha, kau masih belum bisa mencintainya kah?, padahal esok hari pernikahan kita"

"Tidak juga, aku hanya jadi ingat kejadian itu"

Menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, nona diajak Boi bersilaturahmi ke rumah enyaknya. Dari depan rumah saja, sudah terlihat keramaian. Maklum saja enyak itu sesepuh kampung betawi, selain itu rumah enyak juga bersampingan dengan masjid agung. Jadi mau tidak mau, rumah yang hanya ditinggali boi dan enyaknya itu kerap ramai ketika ada hari-hari besar betawi. Apalagi dalam anggapan betawi, Ramadhan merupakan bulan istimewa yang paling penuh rahmat. Tentu menyambutnya harus pula istimewa.

Enyak ketika itu sedang asyik berada di belakang mengaduk satu kuali gula merah bersama ibu-ibu tetangga. Ketika pasangan mabuk cinta itu masuk ke dapur, langsung saja emak memanggil, "Boi, cepet sini suruh temen cewek lu bantuin enyak, tangan gw udah pegel nih".

Nona yang merasa dirinya disebut-sebut oleh enyak, langsung meremas erat tangan boi, "Aduh, aku harus ngapain nih?"

"yaudah sana bantuin enyak bikin dodol"

Dengan lembut Boi melepaskan remasan tangan Nona, kemudian masuk lagi ke ruang tengah, untuk kemudian keluar ke sebelah membantu bapak-bapak lain yang sedang membersihkan masjid.

Alhasil Nona jadi sendirian, dan kalau sudah begini, mau tidak mau Nona harus ikut membantu enyak membuat dodol. Oleh Nona, Diputarnya gula merah itu berkali-kali, mengikuti perintah enyak. Putarannya mulai mencapai puluhan, kemudian ratusan putaran, lalu ribuan, lalu... entahlah mungkin sampai puluhan ribu.

Tiba-tiba ditengah kepegalan yang amat sangat mengaduk gula merah, Emak yang suaranya serak-serak tua itu berujar, "Enyak nyuruh Nona ikut bikin dodol tuh bukan mau ngerjain, tapi kalo mau jadi istri orang betawi ya harus gini, harus nyobain bikin dodol". Enyak menambah lagi wejangannya, "Bikin dodol itu tuh butuh kesabaran, ketelatenan dan kekuatan, persis kayak kalo bikin rumah tangga, apalagi kan lu tiga bulan lagi mau nikah sama si Boi, ya semoga ini pelajaran bikin dodol bisa lu inget terus sampe tua sampe mati"

Seketika pegal tangan Nona hilang, seiring Enyak memberi wejangan. Rupa-rupanya Nona tahu kalau Enyak itu cuma pengen anaknya dapet perempuan yang baik. Setelah itu, adukan Nona semakin kencang semakin bertenanga, Nona benar-benar bersemangat karena enyak sudah memberi restu pada hubungan mereka. Tak lama dari itu, adzan magrib berkumandang dan itu sekaligus tanda kalau gula merah yang sedari tadi diaduk-aduk itu sudah mengental, menjadi dodol. Kemudian kegiatan dapur otomatis berhenti dan Enyak mengajak Nona untunk sholat di masjid. Sepasang calon menantu dan mertua itu terlihat serasi, kemudian mulai terciptalah canda tawa dalam obrolan mereka menuju masjid.

Dari masjid, Boi hanya senyum-senyum saja melihat kedua perempuan kesayangannya itu akrab satu sama lain. Setelah selesai salam, Boi langsung mendatangi Enyak dan Nona yang ada di barisan belakang masjid, “Nyak, Nona Boi anterin pulang dulu yak, gak enak kalo kemaleman”.

Yaudah deh, ati-ati lo yak, lain kali ajak lagi kemari si Nona”

Iya Nyak”, ujar kedua pasangan itu.

Sepanjang perjalanan, Nona hanya cemberut sambil memijit-mijit tangannya sendiri. Sedangkan Boi, seperti biasa hanya tersenyum kecil dan kemudian berkata, "Terimakasih Nona".

M.Baghendra Lodra - Jurnal 06

Baso Tahu

Imam itu berdiri berbalik merapatkan jemaahnya. Bagusnya, katanya, sampai bersentuhan lunak dengan kanan-kirimu. Pria wanita ia tegur - jika barisan perwujudan tiang agama itu bolongnya terlihat. Ketika mengucap takbir akbar gaungnya menghantui.
.
Selepas tamatnya ritual terdapat satu orang pemuda menghampirinya. Bersama pemuda itu ia berjalan beriringan meninggalkan Masjid. Ia siap menjadi peminat paling setia ode sang pemuda.
.
Kalau saja aku bisa mentraktirnya makan baso tahu, sambil bertanya mengapa ia sampai hati bilang kenaikan BBM itu haram. Dan bagaimana bisa dosen-dosen institut teknologi itu merupakan budak dari jeratan kapitalisme. Haha.
Tristia - Jurnal 09

Kota Ini

Kota ini semakin tua
tapi tidak ada kesederhanaan seorang tua
Lihat wajahnya yang penuh rona
seperti remaja putri saban malam Minggu
Berias, enth untuk siapa
Menunggu, entah untuk apa
Atau jangan-jangan memang tak ada ajakan pergi,
.
Dua jam lalu
hanya derau ujung daun cemara menampar jendela kamar...
Iman Purnama - Jurnal 08

Sabtu, 13 Agustus 2011

-

Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan,

bukan yang kita inginkan

Karena Ia yang Maha-Maha…

Karena Ia lebih menyayangi

dibanding Ibu kita

Karena Ia lebih dekat

dari urat leher kita sendiri

- Hafiyyan "Pache", Jurnal 07

Jumat, 12 Agustus 2011

Bicara

Jika orang-orang bicara tentang revolusi

aku akan bicara tentang daun-daun

yang bergerak menyelimuti angkasa

-

Jika orang-orang bicara tentang apa yang tersaji

dalam koran

dalam radio

dalam televisi

aku akan bicara tentang semut-semut

yang diam-diam mencuri gula

-

Jika orang-orang berdebat tentang Tuhan

dan mencaci

dan merusak

dan membunuh

atas nama-Nya

aku akan bicara tentang dua parkit jingga

yang bercumbu di balik Gereja

-

Jika orang-orang bicara tentang cinta

aku akan bicara tentang kamu

yang pernah memakai cat kuku hijau

dan berkata mengapa tidak biru

-

Jika orang-orang bicara tentang kehidupan

aku akan bicara tentang gerak dan nafas

yang menjelma pada suatu sore yang menguning

- Iman Purnama, Jurnal 08

Kamis, 11 Agustus 2011

Gunturku Bukan Anak Lelaki Seberang Jalan

Guntur kali ini bukan sang geledek di awan yang seenak bujur main ambu dengan bumi.

Sempat menggetarkan namun bisa-bisanya hanya main-main dan sesekali!

Apalagi-lah gunturku bukan anak lelaki seberang jalan yang biasanya lontar ledek

Ini guntur

gunturku

dan guntur bagi semua dzat yang mendarah dagingnya

guntur ini akan kubagi

kupreteli hingga imaji tangguh yang liar, yang dicipta para penakluk membuatmu terbuai terhipnotis

Tinggi menjulang

Gunturku setapak alur terjal dan sungguh jalanglah ia. Mata air yang sempat menghibur dan jernih terasa, serta merta hutan singkat yang bisik anginnya kerap menenangkan. Lantas selanjutnya kau akan terpaku dengan sehamparan ilalang kering bagai sabana Afrika pengiring tapak kokoh pasang kaki. Bermuara pada dahaga puas dan pucaknya itu yang sungguh hijau, megah, luas. 2000 lebih mdpl dan semesta tak henti mendekap. Semesta dan saripati pegunungan dunia pun turut berbisik, “Jadilah, hey, manusia melebur dengan guntur dan alam liarnya.”

Guntur dan aku salinglah bernegoisasi dan berinisiasi hingga tiada pihak yang merugi. Aku bukanlah penakluk guntur, melainkan penakluk diri sendiri.

- Tristia Riskawati, Jurnal 09

Rabu, 10 Agustus 2011

Nafsu

Yang jauh ingin digapai
ketika dekat...
tak ada lagi keinginan
mungkin...
sudah merasa terpuaskan

Gelombang-gelombang lautan itu terus menghantam
awalnya suatu kekuatan, Dahsyat...
teratur dan bersinambung
lama-lama terbiasa
sekarang...
sudah tak berasa

Dialog Pukul Satu

Ada yang melihat,
tanpa menatap ke jendela warna
ada yang mendengar,
tanpa memasang alarm penuh suara
ada yang mencium,
tanpa mengendus kesunyian aroma
ada yang merasa,
tanpa menyentuh kebekuan benda-benda
-
mari
melihat dengan lekukan telinga
mendengar dengan delikan mata
mencium dengan kemungilan pori-pori
bicara dengan kelembutan gerak-nafas
serta berjalan dengan tuntunan kata-kata
-
tutup semua indera
batin terang menyala-nyala
-
Iman Purnama, Jurnal 08

Tulisan

Tulisan adalah lukisan yang bergerak hidup

Tinta menjadi imaji

Kuas menjelma makna

Semua digantung dengan bingkai penuh ukiran kata-kata

Sedang kanvasnya sendiri adalah kehidupan manusia-manusia

-

Iman Purnama, Jurnal 08

Sabtu, 30 Juli 2011

Aku tak ingin

Aku tak ingin mengasihani diriku dan hidupku
Karena aku tak ingin orang berbelas kasih padaku
Aku tak ingin melemahkan diriku
Karena aku tak ingin mereka menilai lemah diriku
-
Seberapa sulit beban yang ada di depanku
Akan aku pacu diriku untuk melalui
Seberapa berat hambatan di depanku
Akan aku tantang diriku untuk melewati
-
Aku tak ingin mengeluh apa yang sedang aku jalani
Karena aku tahu, mungkin aku bisa mendapatkannya lagi
Aku hanya ingin menikmati setiap detik yang jalani
Karena aku tahu, detik itu tak akan pernah kembali lagi
-
Jatinangor, 30 Juli 2011
Eka Merdekawati a.ka. Lala, Jurnal 07

Kamis, 28 Juli 2011

Tuan Tangguh

Saya meninjau tuan. Tuan yang dulu hancur kini mulai tumbuh. Tuan memang tangguh

Kehancuran awal dari pertumbuhan, hey tuan. Suksesi primer dalam pelajaran biologi memaparkan, ketika gunung krakatau meletus, habitat di sekitarannya hancur lebur mengabu.

tetapi lihat sekarang adanya, tumbuh beragam flora di sana. Menandai kehidupan baru. Beragam potensi biota pesisir itu sungguh meramaikan keanekaragaman hayati dunia.

Tuan dulu hancur. Tuan dulu terpuruk. Busuk

Kegelapan merundung tuan, tapi tuan tidak terhenti! Tuan mencari celah tanpa lelah

Gudangnya siasat ialah tuan dengan dibimbing Tuhan maka niscaya tak tersesat

Lihat tuan sekarang! Tuan tangguh dan tuan bersungguh-sungguh

Tuan berhibernasi. Menyiapkan amunisi.

Tuan tak harus jadi primadona atau primadono untuk mengabdi. Tuan tahu itu. Tuan bertutur. Menyampaikan. Tuan berlagak biasa padahal luarbiasa di dalamnya.

Dan tuan tersenyum. Saat tahu hasil bukanlah suatu ukuran kemenangan seseorang,

melainkan proses.

- Tristia Riskawati, Jurnal 09

Selasa, 11 Januari 2011

Ontologi Kelab Fiksi, 16 Desember 2010

I.

tolong tutup sedikit celah pintu di kulit ini,

atau minimal, tariklah sebentar nafasmu,

untuk ciptakan hawa hangat.

semakin tinggi pohon, makin keras angin yang menerpa,

kasihan pohon yang tinggi itu,

kami yang di bawah sini pun kedinginan.

(Adhi Fahmi, Jurnal 09)

II.

gumpalan nafas menari di udara,

menyambut kawanan baru yang terlahir di dunia.

tercipta berkat rasa.

alunan nada perlahan menghilang.

tenggelam,

lalu terbang.

melesat dalam bayang.

(Ifa Paramitha, Jurnal 07)

III.

derap langkah mereka tak pernah henti. menjejak lamunan dalam perasaan risih. terkadang, bahkan menjadi bahan caci maki. mereka hanya berharap dosanya kan tercuci. meski dalam ingatannya, setiap manusia tidaklah suci. harapannya membuncah begitu menjadi. langkahnya semakin cepat seolah berlari. tak henti termakan hari. apa yang membuatku begitu benci? tunjukanlah pada mereka satu hati. sekumpulan pria yang mencintai sesama lelaki. aku hanya menjerit dalam hati, TAI !!!!!

(Frasetya Vady Aditya, Jurnal 09)

IV.

Gila benar-benar gila

Aku kesal dengan diriku ini

Lemah karena aku tak berani

Aku tahu ini berat

Untuk meraih hatimu

Segala emosi ku

Entah apa yang aku kejar

Lepas dari semua amarahku

Luluh di dalam hatiku

Yang paling dalam

Gila segila-gilanya

Waktuku hanya untukmu

Semua hanya untukmu

Aku akan mengatakan sesuatu

Yang paling buatku menyukaimu

Aku suka senyummu

Namun itu membuatku menjadi

Gila segila-gilanya

Lepas ku melayang

Oh karena dirimu....

(Satria Perdana, Jurnal 09)

V.

pohon, hijau, berdiri, melindungi, meneduhkan

langit, biru, putih, mengambang, menenangkan

dan saya merasa sangat beruntung masih bisa menikmati keduanya

seberuntung hatiku yang masih bisa berlari

..................................................

..................................................

..................................................

hati, akal, dan tubuhku adalah syaratku mendapatkan hati, akal, dan tubuhmu.

akan ikhlas kuberikan padamu asal sesuai dengan norma ilahi

seikhlas pohon yang memberikan hijau, perlindungan, peneduhan

seikhlas langit yang memberikan biru, putih, ketenangan.

(Hafiyan Lindur (Apache), Jurnal 07)

VI.

terjebak dalam rutinitas

hingga meranggas

dan tanpa batas,

lalu, mau jadi apa aku setelah lulus?

(Lala Merdekawati, Jurnal 07)

VII.

ANJING !!! dentuman musik bernada sumbang itu mengganggu telingaku.

malahan sekarang sudah masuk ke kerongkongan, menjalar masuk pembuluh darah.

sekarang, teman-teman diskusiku ikut tertular. lingkaran duduk kami jadi penyakitan.

oh, sungguh kesal tak tertahankan.

Grrrr.

(Baghendra Lodra, Jurnal 06)

VIII.

pada waktu yang selang,

dan langit sedang dirundung malang,

ah, kita masih duduk,

untuk tujuan yang tak satu setan pun mengerti

atau Tuhan yang berbaik hati,

menempatkanku padamu,

atau memang bumi,

yang pasrah untuk kita tempati selalu?

(Dimas Dito, Jurnal 07)

IX

salah, ucapkan selamat tinggal terlalu dini.

tabung-tabung perak dentumkan keroncongan.

sungguhpun ada lembaran serial.

kulambaikan sampai jumpa esok hari,

terlalu dini.

(Haekal Adzani, Jurnal 07)