Senin, 01 November 2010

harmoni

Dalam rentang yg berjalan ini, sebuah bambu menganyam diri membentuk bilik. Kotak dan trapesium menjadi akhir dari segala eksperimennya. Percikan sinar mentari mengintip nakal di setiap celah yg menguncup. Bersama angin, ia menggelitik lambaian serat di sela-sela sudut. Mereka menari..menyambut waktu yang semakin tinggi. Berputar berkelana mencari jati diri. Akhiri air mimpi dan terbang memulai aksi.

Rabu, 20 Oktober 2010

Seru melihat mereka, berpakaian rapi menanti panggilan, untuk tapaki tangga terakhir. Satu pintu terbuka, dirangkul sobat, dibisiki, “kamu pasti bisa”. Senang juga melihat keramik, berbusa, dikelitiki mesin berputar, bulat. Syukurku hari ini, panas tak bakar kepala, dingin tak menusuk tulang, hingga aku bisa bersandar kayu, nikmati angin, dan berdansa di atas kertas.

- Haekal Adzani

Lingkaran-lingkaran dalam petakan punya keegoisannya sendiri. Layaknya lingkaran umumnya yang tidak mempunyai titik henti pada ujungnya. Mereka berputar terus dan terus. Ada sesuatu dibalik putarannya. Tahukah kamu? Kami duduk di tempat yang melingkar. Tentu saja kami tidak hanya duduk mengikuti pola yang diberikan kepada kami. Tapi memang ada sesuatu dibalik lingkaran ini. Kami berkumpul melingkar dengan bulatan emosi di tengahnya. Kami merasakannya.

- Ipan Picoen

Apa yang sedang mereka pikirkan. Dua orang mahasiswa yang sedang berbincang, entah apa saja yang mereka cakapkan. Lelaki itu terlihat gerah, tangannya mengusap-usap keringat pada dahinya. Kancing kemejanya pun terlihat sampai atas. Ketat pada tubuhnya. Dasi yang ia pakai pun tak punya pesan apa-apa selain hiasan. Temannya pun mengajak berbincang. Kepala plontos dengan kaus gelap. Hanya sebotol air minum di tengah-tengah mereka. Sepertinya serius. Terlihat, mereka adalah mahasiswa tingkat akhir. Mereka duduk di sebuah tempat persis di depan Kantor Jurusan Humas. Berbincang tentang skripsi barangkali? Yang jelas, laki-laki plontos itu tak banyak bicara. Ia masih duduk, mendengarkan. Sedang yang berkemeja terus saja berbicara. Rapih dengan setelah kemeja dan pantalon hitamnya. Kemudian mereka pergi, begitu saja. Dan pemandangan lain mau tak mau menjadi yang tertuju. Awan terlihat mendung tapi tak ada gemuruh. Angin-angin juga lembut, sepertinya cocok untuk tidur. Tapi jika ditanya, saya akan memilih untuk menyendiri, di suatu tempat yang tinggi, memandangi manusia-manusia dari atas sini. Sayang, tak ada tempat yang lebih tinggi disini. biarlah, seolah tak peduli, saya tak mendengarkan apa-apa kecuali suara hati. Padahal, sana sini terdengar sayup siul, pun terdengar suara-suara obrolan dan tawa-tawa yang membahana, di kejauhan sana.

- Dimas Dito

Suasana sekitar ini memengaruhi perasaan saya, dan saya yakin, perasaan saya juga memengaruhi suasana sekitar. Entah seperti apa perasaan saya sekarang, yang jelas saya sebal melihat tiga orang pemuda yang duduk di kursi dan meja bundar sambil merokok. Ini bukan masalah kebencian saya pada rokok itu, ini masalah hak saya untuk bisa menghirup udara bersih. Merokok memang hak mereka, tapi menghirup udara bersih tanpa asap rokok adalah hak saya. Melihat tiga perokok itu tak ubahnya seperti membayangkan tiga mafia yang sedang berkompromi merencanakan pembunuhan massal ke sebuah perkampungan kumuh. Ketika mereka tertawa, seruan dan ekspresinya seolah menunjukkan kemenangan besar atas rencana kejinya. Andai saja saya adalah spiderman, gedung pencakar langit adalah tempat yang pas untuk menggantung mereka dengan jaring saya.

- Adhi

Tiga orang mahasiswa duduk di meja bundar. Raut wajah ketiganya memperlihatkan ironi mahasiswa masa kini. Jari-jemarinya memutar-mutarkan sebatang rokok filter dan mulutnya mengeluarkan asap beracun yang mematikan. Memang, hak mereka untuk merokok, tapi saya punya hak untuk menghirup udara bersih. Di depan mereka empat orang mahasiswi sedang bersuka cita. Wajahnya, mencerminkan gaya hedonisme yang menjadi prinsip hidup mereka. Seorang dari mereka, memutar-mutarkan handphonenya yang berkilau. Di depannya, petugas kebersihan sedang menggosok lantai yang telah diinjak ratusan, mungkin ribuan sepatu mahasiswa. Entah apa yang dipikirkan mahasiswa tersebut. Wangi pembersih porselen telah membiusnya utuk termangu dengan tatapan kosong. Buih air yang perlahan mendekat, membuat keempat mahasiswi itu pergi. Ke KFC mungkin, atau jadi atheis sekalian. Tidak berselang lama, sebuah sosok dengan pikulan yang berat, berjalan memecah keramaian. Langkahnya gontai setelah bekerja setengah hari.

- Adit

Ia singsihkan jeans hitamnya hingga mata kaki tampak. Alas kaki pun ia tanggalkan. Satu dua langkahnya iringi kilauan lantai. Lantai berdebu kian tereduksi. Raut wajahnya tetap tak tunjukkan lelah. Namun, orang tetap berlalu-lalang. Langkah kecil mereka kembali sisakan noda

- Anju Christian

Sabtu, 16 Oktober 2010

Slowly Murdered on The Streets

I turned on my black motorcycle to warm up. After all equipment is prepared for the day, not long wait for me to run the bike out of the house and across the black asphalt streets. Jupiter Street, Tatasurya Street, Soekarno-Hatta Road (which reputedly the longest street in Bandung and was never bored with the improvement project), Cinunuk Road, Cileunyi Road, Bandung-Sumedang Road, I spent the morning with joyous singing. I was so relaxed because it was no deadline and not being late. It was held on a regular basis.

I was riding motorcycles into one of the many other vehicles on the streets. Also present on the streets: motorcycles with a wide range of voice, old vehicles with black smoke as well, the public transportation with a sucks "behavior", vehicle that has a black plate, city bus (Damri) that emit black smoke and odor, and truck plant and container which has a large black tire. Everything is spilled on the same street with a different destination.