Pada jejak kaki subuh, tertinggal bekas hadangan bulan
Ranting setengah basah. Tergigit hujan kemarin malam
Dalam hutan, anak tupai bermain-main dengan tetesan hujan
Sedang anak manusia bergegas lari
tenggelam dalam hangat ketiak Ibu
Adakah manusia cemas pada sederet rahmat
yang berbunyi lirih di atas genting?
Atau rahmat hanyalah sepotong pelangi
yang enggan berbagi warna yang fana?
Kau, berkatalah pada mereka yang membuka payung dengan tergesa
Adakah sesal pada bangunan-bangunan tinggi
yang tak mampu melindungi?
Atau justru mereka timpakan kekesalan pada pohon kiara
yang seketika berubah jadi barisan tentara?
Langit akan runtuh, sedang laut pasti surut
Tapi, barangkali, sejumlah narasi yang terketik rapi dalam deretan renyai ini
tak akan lepas lesat menjadi layang
karena bidak catur Sang Kala sendiri belum terjamah bayang
-- cerita memang belum usai.
Ada dua pola:
BalasHapusPermainan kata dan simbol, sempat cukup menjanjikan...seperti paragraf pertama...
Masuk ke paragraf kedua, suara puisi lebih realis, bukan simbolis lagi...
Jadi, pembaca terpaksa keluar dari dunia simbol..
Mungkin, bisa diteruskan bermain simbol, Iman
Betul, Bu. Paragraf (atau bait?) pertama ama kedua emang dibuat pas kondisi yang berbeda. Jadi yaa.... beda juga hasilnya, he he he.
BalasHapusOh ya, makasih sarannya, Bu. Sering-sering.
BalasHapus