Kamis, 03 November 2011

Renyai

Pada jejak kaki subuh, tertinggal bekas hadangan bulan

Ranting setengah basah. Tergigit hujan kemarin malam

Dalam hutan, anak tupai bermain-main dengan tetesan hujan

Sedang anak manusia bergegas lari

tenggelam dalam hangat ketiak Ibu

Adakah manusia cemas pada sederet rahmat

yang berbunyi lirih di atas genting?

Atau rahmat hanyalah sepotong pelangi

yang enggan berbagi warna yang fana?

Kau, berkatalah pada mereka yang membuka payung dengan tergesa

Adakah sesal pada bangunan-bangunan tinggi

yang tak mampu melindungi?

Atau justru mereka timpakan kekesalan pada pohon kiara

yang seketika berubah jadi barisan tentara?

Langit akan runtuh, sedang laut pasti surut

Tapi, barangkali, sejumlah narasi yang terketik rapi dalam deretan renyai ini

tak akan lepas lesat menjadi layang

karena bidak catur Sang Kala sendiri belum terjamah bayang

-- cerita memang belum usai.

3 komentar:

  1. Ada dua pola:
    Permainan kata dan simbol, sempat cukup menjanjikan...seperti paragraf pertama...
    Masuk ke paragraf kedua, suara puisi lebih realis, bukan simbolis lagi...

    Jadi, pembaca terpaksa keluar dari dunia simbol..

    Mungkin, bisa diteruskan bermain simbol, Iman

    BalasHapus
  2. Betul, Bu. Paragraf (atau bait?) pertama ama kedua emang dibuat pas kondisi yang berbeda. Jadi yaa.... beda juga hasilnya, he he he.

    BalasHapus
  3. Oh ya, makasih sarannya, Bu. Sering-sering.

    BalasHapus