Kamis, 08 September 2011

Dodol Buaya

Sehidup semati dalam sebuah janji, selalu berdua, seperti buaya, begitulah adanya.

"Kok buaya sih?" keluh nona memotong pembicaraan.

Boi hanya tersenyum kecil, kemudian perlahan ia memegang kedua tangan pujaan hatinya itu. "Di Betawi, Buaya merupakan perlambangan suci sepasang kekasih. Sesungguhnya Buaya itu hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya. Meskipun terlihat seram, sangar, berandal, namun dia setia memegang janjinya."

" Lagi-lagi betawi, huh"

"haha, kau masih belum bisa mencintainya kah?, padahal esok hari pernikahan kita"

"Tidak juga, aku hanya jadi ingat kejadian itu"

Menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, nona diajak Boi bersilaturahmi ke rumah enyaknya. Dari depan rumah saja, sudah terlihat keramaian. Maklum saja enyak itu sesepuh kampung betawi, selain itu rumah enyak juga bersampingan dengan masjid agung. Jadi mau tidak mau, rumah yang hanya ditinggali boi dan enyaknya itu kerap ramai ketika ada hari-hari besar betawi. Apalagi dalam anggapan betawi, Ramadhan merupakan bulan istimewa yang paling penuh rahmat. Tentu menyambutnya harus pula istimewa.

Enyak ketika itu sedang asyik berada di belakang mengaduk satu kuali gula merah bersama ibu-ibu tetangga. Ketika pasangan mabuk cinta itu masuk ke dapur, langsung saja emak memanggil, "Boi, cepet sini suruh temen cewek lu bantuin enyak, tangan gw udah pegel nih".

Nona yang merasa dirinya disebut-sebut oleh enyak, langsung meremas erat tangan boi, "Aduh, aku harus ngapain nih?"

"yaudah sana bantuin enyak bikin dodol"

Dengan lembut Boi melepaskan remasan tangan Nona, kemudian masuk lagi ke ruang tengah, untuk kemudian keluar ke sebelah membantu bapak-bapak lain yang sedang membersihkan masjid.

Alhasil Nona jadi sendirian, dan kalau sudah begini, mau tidak mau Nona harus ikut membantu enyak membuat dodol. Oleh Nona, Diputarnya gula merah itu berkali-kali, mengikuti perintah enyak. Putarannya mulai mencapai puluhan, kemudian ratusan putaran, lalu ribuan, lalu... entahlah mungkin sampai puluhan ribu.

Tiba-tiba ditengah kepegalan yang amat sangat mengaduk gula merah, Emak yang suaranya serak-serak tua itu berujar, "Enyak nyuruh Nona ikut bikin dodol tuh bukan mau ngerjain, tapi kalo mau jadi istri orang betawi ya harus gini, harus nyobain bikin dodol". Enyak menambah lagi wejangannya, "Bikin dodol itu tuh butuh kesabaran, ketelatenan dan kekuatan, persis kayak kalo bikin rumah tangga, apalagi kan lu tiga bulan lagi mau nikah sama si Boi, ya semoga ini pelajaran bikin dodol bisa lu inget terus sampe tua sampe mati"

Seketika pegal tangan Nona hilang, seiring Enyak memberi wejangan. Rupa-rupanya Nona tahu kalau Enyak itu cuma pengen anaknya dapet perempuan yang baik. Setelah itu, adukan Nona semakin kencang semakin bertenanga, Nona benar-benar bersemangat karena enyak sudah memberi restu pada hubungan mereka. Tak lama dari itu, adzan magrib berkumandang dan itu sekaligus tanda kalau gula merah yang sedari tadi diaduk-aduk itu sudah mengental, menjadi dodol. Kemudian kegiatan dapur otomatis berhenti dan Enyak mengajak Nona untunk sholat di masjid. Sepasang calon menantu dan mertua itu terlihat serasi, kemudian mulai terciptalah canda tawa dalam obrolan mereka menuju masjid.

Dari masjid, Boi hanya senyum-senyum saja melihat kedua perempuan kesayangannya itu akrab satu sama lain. Setelah selesai salam, Boi langsung mendatangi Enyak dan Nona yang ada di barisan belakang masjid, “Nyak, Nona Boi anterin pulang dulu yak, gak enak kalo kemaleman”.

Yaudah deh, ati-ati lo yak, lain kali ajak lagi kemari si Nona”

Iya Nyak”, ujar kedua pasangan itu.

Sepanjang perjalanan, Nona hanya cemberut sambil memijit-mijit tangannya sendiri. Sedangkan Boi, seperti biasa hanya tersenyum kecil dan kemudian berkata, "Terimakasih Nona".

M.Baghendra Lodra - Jurnal 06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar